Sudah tidak lagi menjadi sebuah
fenomena baru bahwa produk lokal/indie hasil karya desainer, seniman dan
pengrajin dari kota tersebut berani tumbuh & hadir menawarkan diri sebagai
alternatif pilihan gaya hidup bagi market/pasar di kota tersebut di tengah
kerasnya gerusan arus globalisasi, setelah sekitar 10 tahun yang lalu sudah di
awali terlebih dahulu oleh sekelompok kaum muda asal kota Bandung yang sekarang
lebih kita kenal dengan nama 347/UNKL, namun disini kita ga akan membahas
tentang mereka tetapi lebih berusaha menjelaskan kepada kalian "Mengapa
produk lokal/indie yang terdapat di Concept Store atau Gallery harga
jualnya terbilang tinggi?" Berikut adalah beberapa jawaban yang kami
dapat dari Steve M. yang juga menjalankan dan memiliki indie brand clothing.
1. Brand lokal memiliki kecenderungan tidak membuat
produk dalam jumlah kuantitas massal (produksi massal ratusan hingga ribuan),
mereka hanya memproduksi dalam jumlah kuantitas yang minim pada umumnya paling
sedikit adalah 12 pakaian/desain dan paling banyak tidak lebih dari 24
pakaian/desain, hal tersebut di maksudkan untuk menjaga kebanggaan konsumen
yang membeli dan eksklusivitas produk dan brand itu sendiri, namun dampak dari
produksi dalam jumlah sedikit secara otomatis langsung membebani kepada pihak
pemilik indie brand karena secara otomatis biaya pengerjaan/produksi
dengan pengrajin pakaian tidak bisa di tekan, sehingga biaya produksi menjadi
selangit (Hukum ekonomi, pemesanan banyak harga murah namun jika pemesanan
sedikit harga mahal) dan di tambah pula belum tentu tiap indie/local brand
mempunyai pengrajin sendiri, terkadang para pemilik turun tangan & ada
juga yg hanya memberikan workshop kepada pengrajin, workshop yang diberikan
lebih mengenai Detailing, mengenai Cutting, dan pengerjaan yang rapi serta
nanti pada akhir ada Quality Control walaupun para pengrajin pakaian
mempunyai jam terbang yang tinggi akan tetapi mereka tetap membutuhkan
workshop dari pemilik brand yang notabene adalah juga klien mereka, karena
setiap BRAND memiliki cita rasa masing-masing. Beberapa brand memang
ada yang membawa konsep yang serupa. Tetapi mengenai cita rasa tidak bisa
bohong. Karena Passion & Pride ada di dalamnya.
2. Pemilihan material garmen merupakan tantangan bagi local/indie brand khususnya yang bergerak di clothing line karena kami memproduksi dengan jumlah kuantitas sedikit namun tetap di tuntut ekslusif. Sehingga kami tidak bisa membeli bahan dalam jumlah banyak, hal ini berpengaruh pada harga beli bahan & material menjadi mahal, akan tetapi menjadi nilai lebih karena kami tidak akan memakai bahan yg sama untuk kali kedua, kami menghindari produksi massal, mengapa? Karena memang benar secara logika jika memproduksi secara massal akan menekan ongkos produksi, namun hal ini secara langsung mengorbankan detailing. berbeda dengan sistem produksi yang kebanyakan di terapkan pada kultur indie/local brand, detail akan sangat diperhatikan.
2. Pemilihan material garmen merupakan tantangan bagi local/indie brand khususnya yang bergerak di clothing line karena kami memproduksi dengan jumlah kuantitas sedikit namun tetap di tuntut ekslusif. Sehingga kami tidak bisa membeli bahan dalam jumlah banyak, hal ini berpengaruh pada harga beli bahan & material menjadi mahal, akan tetapi menjadi nilai lebih karena kami tidak akan memakai bahan yg sama untuk kali kedua, kami menghindari produksi massal, mengapa? Karena memang benar secara logika jika memproduksi secara massal akan menekan ongkos produksi, namun hal ini secara langsung mengorbankan detailing. berbeda dengan sistem produksi yang kebanyakan di terapkan pada kultur indie/local brand, detail akan sangat diperhatikan.
3. Kebanyakan local/indie brand masih mengandalkan vendor atau pihak ketiga, dan tidak mempunyai pengrajin sendiri. Sehingga tidak bisa mematok harga produksi / berubah-ubah, karakter konsumen beragam, dan cara pikir konsumen begitu juga. Jika pola pikir segmented target market bisa dirubah dan mereka mengerti, price atau harga akan menjadi second thought #localpride.
Sebagian besar penikmat dan pengapresiasi indie/local brand memang kurang paham dengan proses produksi dan mungkin juga dengan kualitas, bahkan kenyamanan dari suatu produk dimana pola pikir mereka memiliki kecenderungan "Yang terpenting harga murah dulu, lalu bagus dan cakep kalo dipake" terkadang mereka maunya barang murah dan bagus. akan tetapi akankah ada? Jikapun ada, mungkin dari brand dengan produksi masal, itupun juga mungkin masih terlalu mahal untuk mereka.
Terkadang penikmat dan pengapresiasi yang karakternya
seperti itu masuk kategori yang tidak memajukan indie/local brand, apalagi jika
ternyata mereka tergolong middle-up economic class.
Ada juga yang berkata "Kenapa membeli produk
lokal semisal: "Jeans/Denim" dengan harga mahal?"
Kualitas, ide, bahan, dan limited quantity
(Jumlah terbatas) serta menunjang pengrajin lokal, jawab Steve M.
lalu mendengar @anandanegara juru bicara dan orang
yang mengurusi merchandise TWENTYGRAND/20GRAND, mengenai Super Brand di
kota Paris, seperti LV (Louis Vuitton), Chanel, Prada, dll dimana mereka
memperoduksi pada 1 pengrajin yg sama untuk beberapa produk contohnya
kacamata dan tidak menjadi masalah. Karena ini semua mengenai taste dari tiap
BRAND yang diwakili dari label atau icon yang tertempel pada produk, nilai
tawar jual bukan karena vendor atau pengrajin. Yang menandakan perbedaan cara
pikir orang indonesia dengan luar dimana Kebanyakan brand lokal cenderung
menutupi mulut dan seakan mempunyai rahasia besar jika mempunyai vendor atau
pengrajin.
Disisi lain brand lokal dan independen tidak dapat
kita pandang sebelah mata, mereka bisa di sandingkan dengan brand besar dari
luar karena dalam proses nya pun mengenal Research and Development atau
Penelitian dan Pengembangan.
BRAND lokal tidak sembarang melempar sebuah produk ke
pasar, dibutuhkan rentetan cara kerja yang terarah, memikirkan sebuah
ide, lalu di gambarkan kedalam fakta, lalu pematangan ide, pengambilan
tindakan, eksekusi, mengumpulkan bahan, pencarian material, evaluasi,
diuraikan, workshop dengan pengrajin mengenai detail pembuatan sample,
tes lapangan, washing, quality control, packaging, tagging, release.
Begitulah, saya rasa dan mudah-mudahan tulisan ini
bisa lebih menumbuhkan kesadaran dan mengubah persepsi Anda mengenai brand
lokal.
Steve Masihoroe adalah pemilik brand independen
PEERAGE, loncat ke personal webnya untuk mengenal lebih dekat di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar